KilasSumatera.com
Muba, Sumatera Selatan —
Api di sumur minyak Keluang memang telah padam. Namun yang menyusul justru sunyi sunyi yang teratur, sunyi yang berulang, dan yang paling mencurigakan,sunyi yang mahal.
Di balik kebakaran sumur minyak yang terjadi di Kecamatan Keluang, Kabupaten Musi Banyuasin, Kamis (11/12/2025), menguat dugaan adanya praktik penutupan perkara dengan nilai yang disebut-sebut mendekati Rp1 miliar.
Dugaan itu berembus bersamaan dengan fakta yang tak kalah mengusik nalar publik, pemilik sumur yang diduga berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) hingga kini terindikasi tidak diproses secara hukum.
Sunyi kembali hadir saat proses hukum tak bergerak secepat isu yang beredar. Sunyi berulang ketika tak ada kejelasan status penyelidikan, tak ada penetapan tersangka, dan tak ada transparansi tentang alur penanganan perkara. Sunyi itu kian ganjil ketika hukum seolah berhenti di titik nyaman jauh dari asas equality before the law yang selama ini dikhotbahkan, namun jarang dipraktikkan.
Dalam logika hukum, status ASN seharusnya memperberat akuntabilitas, bukan menjadi selimut impunitas. Namun yang terlihat justru sebaliknya,dugaan keterlibatan aparatur negara tak direspons dengan pemeriksaan terbuka dan berlapis, melainkan tenggelam dalam ketidakjelasan pascakejadian.
Jika benar terdapat negosiasi di luar mekanisme hukum, maka perihal tersebut,bukan lagi persoalan kelalaian administratif. Justru erosi institusional sebuah preseden berbahaya yang secara perlahan menggerogoti legitimasi penegakan hukum dan kepercayaan Masyakarat secara Luas.
Wibawa Hukum daerah tidak runtuh karena satu kebakaran, tetapi karena kebakaran itu dibiarkan tanpa kejelasan jeratan hukum bagi pemilik sumur yang terbakar.
Pemilik pengelolaan migas ilegal beserta dampaknya terhadap keselamatan manusia dan lingkungan hidup adalah kejahatan serius.Secara etikpun,dugaan keterlibatan ASN menuntut penanganan ekstra ketat dan terbuka.
Ketika hukum tidak ditegakkan, biaya sosialnya berlipat: normalisasi impunitas, delegitimasi aparat, dan pembelajaran keliru kepada publik bahwa uang dapat menggantikan keadilan.
Insiden kebakaran ini, yang dilaporkan merenggut setidaknya tiga nyawa pekerja, tidak lagi layak diperlakukan sebagai kecelakaan kerja biasa. Ia adalah manifestasi nyata kegagalan sistemik Hukum Dalam Wilayah gagal melindungi nyawa, gagal menjaga lingkungan, dan gagal menegakkan hukum tanpa pandang bulu. jika sunyi ini terus dipelihara, ia tak lagi sekadar kebetulan.
Ia berubah menjadi kebijakan de facto. Dan ketika kebijakan de facto itu dibiarkan, Aparat Hukum daerah Muba sedang diuji memilih hukum, atau memilih diam.Diam memang murah.Tapi keadilan yang dikubur, harganya selalu mahal.








